Meskipun keris sudah dikukuhkan sebagai warisan budaya dunia asli dari Indonesia oleh UNESCO sejak enam tahun silam, namun hingga kini, menurut Subandi Suponingrat, kecintaan orang Indonesia terhadap keris masih dalam taraf wacana. Sedangkan untuk tataran aksi, belum ada.
Sebagai salah satu empu atau pembuat keris yang hingga kini masih eksis, Subandi mengaku sangat prihatin dengan generasi muda yang masih setengah-setengah mencintai keris. “Anak muda sekarang ini maunya yang instan, yang cepat bisa menghasilkan uang. Sedangkan membuat keris itu butuh kesabaran, ketelitian, dan kadang ketika sudah jadi, ada juga keris yang tidak laku terjual,” ujar Subandi kepada Espos, Senin (13/6/2011).
Apresiasi masyarakat terhadap benda pusaka itu, lanjut Subandi, juga masih kurang. Kebanyakan orang yang benar-benar mengapresiasi keris adalah orang-orang yang mapan, baik secara ekonomi maupun sosial. Orang yang mengapresiasi keris itu justru warga negara asing. Mereka bisa memahami keindahan dari sebuah keris. Padahal kebanyakan dari mereka bukanlah dari kalangan seniman.
Pria kelahiran Solo, 13 Juni 1957 ini lebih senang membuat keris lantaran benda cagar budaya itu memiliki keindahan tersendiri dibanding tombak, pedang dan sebagainya. “Perasaan saya sudah menyatu dengan keindahan keris,” ungkapnya.
Subandi juga mengaku prihatin dengan tidak banyaknya empu yang masih bertahan membuat keris. Kalau pun toh ada, paling mereka tidak memfokuskan diri untuk membuat keris, sebab secara ekonomi tidak menguntungkan. Mereka lebih banyak membuat peralatan yang lebih bernilai ekonomis seperti pisau, cangkul, clurit dan sebagainya.
Ada juga empu yang sebenarnya ingin membuat keris, sambung Subandi, tapi berhenti di tengah jalan karena tergiur menggarap yang lain yang lebih menjanjikan.
Kendati sama sekali tidak menguntungkan, suami Surani ini telah membuktikan bahwa dengan membuat keris, ia bisa membeli tanah, membuat rumah, serta menyekolahkan keempat anaknya.
Pria yang sudah membuat keris sejak 30 tahun silam ini sebetulnya memiliki cita-cita membuat pameran tunggal. Tapi untuk membuat pameran tunggal, setidaknya seorang empu memiliki 50 koleksi keris. Ia sendiri kebingungan saat merencanakan membuat pameran tunggal, sebab mayoritas kerisnya sudah berada di tangan para kolektor keris asal mancanegara.
Ayah dari Novi Artiyani ini juga memiliki angan-angan di setiap tataran pendidikan di Indonesia, ada pengenalan terhadap benda cagar budaya Indonesia itu. “Misanya, ada pelajaran khusus tentang keris, wayang dan sebagainya. Pelajaran itu disesuaikan dengan tataran pendidikan, baik SD, SMP, SMA maupun di perguruan tinggi,” kata salah satu instruktur keris di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo ini.
Sebagai salah satu empu atau pembuat keris yang hingga kini masih eksis, Subandi mengaku sangat prihatin dengan generasi muda yang masih setengah-setengah mencintai keris. “Anak muda sekarang ini maunya yang instan, yang cepat bisa menghasilkan uang. Sedangkan membuat keris itu butuh kesabaran, ketelitian, dan kadang ketika sudah jadi, ada juga keris yang tidak laku terjual,” ujar Subandi kepada Espos, Senin (13/6/2011).
Apresiasi masyarakat terhadap benda pusaka itu, lanjut Subandi, juga masih kurang. Kebanyakan orang yang benar-benar mengapresiasi keris adalah orang-orang yang mapan, baik secara ekonomi maupun sosial. Orang yang mengapresiasi keris itu justru warga negara asing. Mereka bisa memahami keindahan dari sebuah keris. Padahal kebanyakan dari mereka bukanlah dari kalangan seniman.
Pria kelahiran Solo, 13 Juni 1957 ini lebih senang membuat keris lantaran benda cagar budaya itu memiliki keindahan tersendiri dibanding tombak, pedang dan sebagainya. “Perasaan saya sudah menyatu dengan keindahan keris,” ungkapnya.
Subandi juga mengaku prihatin dengan tidak banyaknya empu yang masih bertahan membuat keris. Kalau pun toh ada, paling mereka tidak memfokuskan diri untuk membuat keris, sebab secara ekonomi tidak menguntungkan. Mereka lebih banyak membuat peralatan yang lebih bernilai ekonomis seperti pisau, cangkul, clurit dan sebagainya.
Ada juga empu yang sebenarnya ingin membuat keris, sambung Subandi, tapi berhenti di tengah jalan karena tergiur menggarap yang lain yang lebih menjanjikan.
Kendati sama sekali tidak menguntungkan, suami Surani ini telah membuktikan bahwa dengan membuat keris, ia bisa membeli tanah, membuat rumah, serta menyekolahkan keempat anaknya.
Pria yang sudah membuat keris sejak 30 tahun silam ini sebetulnya memiliki cita-cita membuat pameran tunggal. Tapi untuk membuat pameran tunggal, setidaknya seorang empu memiliki 50 koleksi keris. Ia sendiri kebingungan saat merencanakan membuat pameran tunggal, sebab mayoritas kerisnya sudah berada di tangan para kolektor keris asal mancanegara.
Ayah dari Novi Artiyani ini juga memiliki angan-angan di setiap tataran pendidikan di Indonesia, ada pengenalan terhadap benda cagar budaya Indonesia itu. “Misanya, ada pelajaran khusus tentang keris, wayang dan sebagainya. Pelajaran itu disesuaikan dengan tataran pendidikan, baik SD, SMP, SMA maupun di perguruan tinggi,” kata salah satu instruktur keris di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo ini.
0Awesome Comments!