Saat itu, jam tangan menunjukkan pukul 14.00 WIB. Di atas batu karang berukuran besar di Pantai Waru, Paranggupito, terlihat dua orang tengah duduk. Seorang membawa jala ikan, sementara satu lagi membawa kepis (tempat menyimpan ikan dari anyaman bambu-red). Seakan berteduh, di siang yang panas itu keduanya seperti menunggu sesuatu. Memilih batu karang yang mepet dengan tebing.
Pekan lalu, kebetulan berada di sekitar dua nelayan, kemudian mendekati mereka. Ia menyatakan sedang mencari ikan. “Cari ikan, mas. Tapi menunggu air surut dulu. Ini sudah mulai surut, nanti setengah jam paling sudah surut. Tapi sembari menunggu benar-benar surut, saat ombak besar belum datang, bapak menjala ikan dulu,” kata Widodo warga Dringo, Gunturharjo yang melaut bersama bapak mertuanya Wagiman.
Gempa Bantul
Tak lama kemudian, ombak besar hilang, Wagiman terus turun dari batu karang dan berjalan mengikuti ikan yang terlihat berlarian. Ia kemudian terus melempar jala.
“Kurang menengah pak. Ikannya di sebelah selatan,” teriak menantu namun telanjur jala dilempar. Satu ikan tampak tersangkut dijala. Ikan Pijak, begitu disebut oleh Widodo. Selain ikan jenis ini, masih banyak jenis ikan lain. “Ini nanti untuk lauk makan, tidak dijual,” jelas Wagiman.
Lantas untuk apa mereka menunggu air surut? Ternyata mereka hendak mengambil udang lobster di jaring yang dipasang sebelum air surut.
“Kalau lobster untuk dijual. Yang warna hijau satu kilogram Rp 300.000. Yang merah lebih murah, Rp 180.000 per kilogramnya. Biasanya diambil pembeli dari Solo,” terang Widodo.
Saat air surut, Joglosemar ikut ke tengah. Namun, ada peringatan dari mereka. Hati-hati karena surutnya surut jelek. Meski surut, ombak besar datang dengan ketinggian air bisa sampai pinggang. Surut seperti inilah yang membuat hasil tangkapan turun jumlah.
Menurut penuturan warga, pasang surut semenjak gempa bumi Bantul beberapa tahun lalu mulai berubah. Pasang sangat tinggi, surut tapi masih ada genangan air. Kurang lebih sekitar dua jam, mereka hanya mendapat beberapa ikan dan tiga lobster.
Mereka berharap dengan Pelabuhan Waru nantinya perahu nelayan bisa bersandar. Sehingga nelayan tradisional tidak hanya bergantung pada pasang surut saja.
Pekan lalu, kebetulan berada di sekitar dua nelayan, kemudian mendekati mereka. Ia menyatakan sedang mencari ikan. “Cari ikan, mas. Tapi menunggu air surut dulu. Ini sudah mulai surut, nanti setengah jam paling sudah surut. Tapi sembari menunggu benar-benar surut, saat ombak besar belum datang, bapak menjala ikan dulu,” kata Widodo warga Dringo, Gunturharjo yang melaut bersama bapak mertuanya Wagiman.
Gempa Bantul
Tak lama kemudian, ombak besar hilang, Wagiman terus turun dari batu karang dan berjalan mengikuti ikan yang terlihat berlarian. Ia kemudian terus melempar jala.
“Kurang menengah pak. Ikannya di sebelah selatan,” teriak menantu namun telanjur jala dilempar. Satu ikan tampak tersangkut dijala. Ikan Pijak, begitu disebut oleh Widodo. Selain ikan jenis ini, masih banyak jenis ikan lain. “Ini nanti untuk lauk makan, tidak dijual,” jelas Wagiman.
Lantas untuk apa mereka menunggu air surut? Ternyata mereka hendak mengambil udang lobster di jaring yang dipasang sebelum air surut.
“Kalau lobster untuk dijual. Yang warna hijau satu kilogram Rp 300.000. Yang merah lebih murah, Rp 180.000 per kilogramnya. Biasanya diambil pembeli dari Solo,” terang Widodo.
Saat air surut, Joglosemar ikut ke tengah. Namun, ada peringatan dari mereka. Hati-hati karena surutnya surut jelek. Meski surut, ombak besar datang dengan ketinggian air bisa sampai pinggang. Surut seperti inilah yang membuat hasil tangkapan turun jumlah.
Menurut penuturan warga, pasang surut semenjak gempa bumi Bantul beberapa tahun lalu mulai berubah. Pasang sangat tinggi, surut tapi masih ada genangan air. Kurang lebih sekitar dua jam, mereka hanya mendapat beberapa ikan dan tiga lobster.
Mereka berharap dengan Pelabuhan Waru nantinya perahu nelayan bisa bersandar. Sehingga nelayan tradisional tidak hanya bergantung pada pasang surut saja.
0Awesome Comments!