Siapa yang tak mengenal abon. Lauk untuk makan tersebut biasanya dibuat dari bahan daging sapi. Namun, berbeda dengan buatan ibu-ibu di Desa Dusun Sawit, Desa Panggupito, Kecamatan Paranggupito. Bahan utama membuat abon, bukan daging sapi melainkan hasil tangkapan nelayan.
Saat itu, Sabtu (11/6), sekitar 20 ibu-ibu berkumpul di rumah Ketua Kelompok Mina Sari Sri Suwarni. Para ibu tengah menunggui ikan tongkol yang dikukus selama 30 menit. Mereka siap untuk menyuwiri daging ikan.
Adapun proses membuatnya sebenarnya mudah, namun jika dikerjakan sendiri lama. Pagi itu saja, mereka selesai hingga proses mengepak sekitar pukul 14.00 WIB. Padahal, ikan yang diolah hanya 10 kilogram.
Setelah menyuwir daging, proses selanjutnya adalah mencampurnya dengan bumbu dapur lengkap tanpa pengawet.
Ditambah gula jawa, yang juga merupakan buatan warga setempat. Setelah bumbu tercampur, adonan ikan seperti daging sapi cincang itu pun digoreng. Hingga warnanya seperti abon pada umumnya. Baru setelah itu ditiriskan dengan cara ditekan dengan alat pres. “Untuk 10 kilogram ikan kalau jadi abon paling hanya sekitar 5 kilogram. Harga ikan saat ini termasuk naik karena nelayan terkendala cuaca. Ombak besar sehingga jarang mendapat ikan. Satu kilogram Rp 15.000. Kalau sedang banyak ikan harga per kilo hanya Rp 10.000,” jelas Sri, Sabtu (11/6).
Oleh karena itu, bobot per bungkus abon juga disesuaikan dengan harga ikan. Jika harga ikan murah, satu bungkus dijual Rp 5.000 dengan berat 600 gram. Namun saat harga ikan mahal, beratnya menjadi 500 gram. Dalam kondisi normal, abon ini bisa tahan hingga satu bulan. Uang hasil penjualan masuk dalam kas kelompok untuk pengembangan ke depannya.
Sartini dari Bagian Produksi Kelompok mengatakan penjualan terkendala pemasaran. Namun sejak ikut pameran potensi daerah beberapa waktu lalu, ada pesanan dari Semarang. Namun sayang, saat itu nelayan tidak melaut karena cuaca buruk. “Selama satu tahun ini hanya dijual di warung-warung. Juga pembeli yang masih warga sini. Kendala terbesar kami pada penjualan,” terang dia.
Saat itu, Sabtu (11/6), sekitar 20 ibu-ibu berkumpul di rumah Ketua Kelompok Mina Sari Sri Suwarni. Para ibu tengah menunggui ikan tongkol yang dikukus selama 30 menit. Mereka siap untuk menyuwiri daging ikan.
Adapun proses membuatnya sebenarnya mudah, namun jika dikerjakan sendiri lama. Pagi itu saja, mereka selesai hingga proses mengepak sekitar pukul 14.00 WIB. Padahal, ikan yang diolah hanya 10 kilogram.
Setelah menyuwir daging, proses selanjutnya adalah mencampurnya dengan bumbu dapur lengkap tanpa pengawet.
Ditambah gula jawa, yang juga merupakan buatan warga setempat. Setelah bumbu tercampur, adonan ikan seperti daging sapi cincang itu pun digoreng. Hingga warnanya seperti abon pada umumnya. Baru setelah itu ditiriskan dengan cara ditekan dengan alat pres. “Untuk 10 kilogram ikan kalau jadi abon paling hanya sekitar 5 kilogram. Harga ikan saat ini termasuk naik karena nelayan terkendala cuaca. Ombak besar sehingga jarang mendapat ikan. Satu kilogram Rp 15.000. Kalau sedang banyak ikan harga per kilo hanya Rp 10.000,” jelas Sri, Sabtu (11/6).
Oleh karena itu, bobot per bungkus abon juga disesuaikan dengan harga ikan. Jika harga ikan murah, satu bungkus dijual Rp 5.000 dengan berat 600 gram. Namun saat harga ikan mahal, beratnya menjadi 500 gram. Dalam kondisi normal, abon ini bisa tahan hingga satu bulan. Uang hasil penjualan masuk dalam kas kelompok untuk pengembangan ke depannya.
Sartini dari Bagian Produksi Kelompok mengatakan penjualan terkendala pemasaran. Namun sejak ikut pameran potensi daerah beberapa waktu lalu, ada pesanan dari Semarang. Namun sayang, saat itu nelayan tidak melaut karena cuaca buruk. “Selama satu tahun ini hanya dijual di warung-warung. Juga pembeli yang masih warga sini. Kendala terbesar kami pada penjualan,” terang dia.
0Awesome Comments!