Surplus Sapi Potong, Petani-Peternak Di Wonogiri Masih Terpuruk

Sapi potong melimpah di Wonogiri, bahkan sampai memasok ke DKI Jakarta dan Jawa Barat hingga 30.000 ekor per tahun. Kendati demikian, nasib petani-peternak di Kota Gaplek masih saja terpuruk. Pasalnya, harga sapi hidup tetap rendah.

Anggota DPRD asal Selogiri, Samino mengaku sangat prihatin dengan nasib petani-peternak yang makin terpuruk saat ini. Setelah gagal panen, sapi yang mereka pelihara pun tak bisa diharapkan karena harganya masih sangat rendah. “Herannya, harga daging sapi masih tinggi. Ini menimbulkan tanda tanya besar, apa mungkin ada mafia daging yang sengaja tidak menyembelih sapi lokal, sehingga sapi lokal hanya diputar dari satu daerah ke daerah lain dan harganya tak bisa terdongkrak,” kata Samino saat ditemui wartawan di Gedung DPRD, Selasa (7/6/2011).
Lebih jauh, Samino berharap pemerintah segera mencari solusi masalah itu. Terutama dia mendesak pemerintah membatasi sapi impor, dengan harapan akan ada lebih banyak sapi lokal yang dipotong sehingga harganya bisa naik.
Ditemui terpisah, Kabid Peternakan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan (Disnakperla), Gatot Siswoyo mengatakan Wonogiri sebenarnya surplus sapi potong. Bahkan memasok ke sejumlah daerah termasuk DKI Jakarta dan Jawa Barat, sedikitnya 30.000 ekor per tahun.
Harga sapi hidup yang anjlok terus, menurut Gatot, tidak lepas dari masih dibukanya keran sapi impor dari Australia. Para pedagang daging lebih suka memotong sapi impor karena harganya lebih murah. “Di sisi lain, stok sapi lokal terus meningkat tapi permintaannya menurun karena kebutuhan daging sapi sudah dipenuhi dari sapi impor. Akibatnya ya harga daging tetap tinggi karena permintaan tetap, sedangkan harga sapi potong terus anjlok,” kata Gatot.
Gatot mengakui tidak banyak yang bisa dilakukan untuk memproteksi harga sapi di tingkat petani-peternak. Satu-satunya hal yang dilakukan hanyalah mendorong petani agar tidak menjual sapi hidup melainkan dalam bentuk daging. Petani-peternak didorong tidak hanya menggemukkan sapi lalu menjualnya dalam keadaan hidup, tetapi juga memotong dan memasarkan sendiri dagingnya.
“Hal ini sudah diujicobakan Kismantoro. Di sana ada kelompok Sarjana Membangun Desa bernama Sidodadi yang beranggotakan 20 petani-peternak dan mulai tahun ini tidak hanya menggemukkan tapi juga menyembelih memasarkan sendiri dagingnya agar tidak terus merugi,” kata Gatot.
Kelompok itu, kata Gatot, mendapat modal dari pemerintah pusat sebagai bagian dari program mewujudkan swasembada daging 2014 mendatang. Jika kebutuhan sapi sudah bisa dipenuhi sendiri dengan sapi lokal, tentunya tidak perlu ada impor sapi dari luar negeri dan harga sapi bisa kembali seperti sebelum ada sapi impor.